17 September 2015

Hentikan Bebanmu, Ayah.

Kunikmati alunan musik dengan setengah hati. Aku pun menguap untuk kesekian kalinya dan aku tak terhitung lagi berapa kali aku menguap. Posisiku sangat siap untuk berjalan di dunia mimpiku. Kucoba untuk memejamkan mataku, tapi diriku selalu terbangun dan terjaga . aku takut saat ingin membuka mataku. Takut berhadapan dengan langit-langit kamarku. Dia seperti sahabatku yang serba ingin tahu. Memaksaku untuk mengungkapkan isi hatiku kepadanya
   
Perhatianku tertuju pada langit-langit kamar. Kuamati bercak-bercak cokelat menggantung di atas seakan-akan siap menjauhi diriku. Tampak kusam kini, tidak lagi seputih dulu. Aku masih teringat waktu dua puluh tahun yang lalu ketika pertama kali aku memasuki kamar pertamaku ini. Dindingnya putih, langit-langitnya pun begitu putih, bersih. Entah kenapa, langit-langit kamar itu selalu menarik perhatianku waktu kecil. Aku suka sekali menatapinya dengan pandangan hampa. Kelamaan, aku merasa langit-langit kamar itu tersenyum. Itu bukan mimpi, itu nyata! Awalnya aku takut melihat senyum itu. Kulihat senyumnya begitu tulus. Aku pun membalas senyum itu. Aku ingat sekali saat itu ketika kali pertama suatu masalah mengganggu hati dan pikiranku. Waktu itu aku menangis sejadi-jadinya. Lalu kudengar langit-langit kamarku membisikkan sesuatu di telingaku, begitu lembutnya dan menyejukkan. Kami pun berbicara panjang. Sejak saat itu pula, kulihat bercak cokelat pertama di langit-langit kamar itu. Setelah itu, setiap aku mempunyai masalah yang berat dan menjadi beban pikiranku,bercak cokelat itu pun bertambah, terus dan terus, hinnga aku sebesar ini.
     
Pikiranku tentang masa laluku menghilang begitu saja keika mendengar langkah-langkah kecil seperti maling yang menurutku tidak asing lagi bagiku. Ayah! Aku langsung berlari ke jendela kamar. Kulihat ayah berjalan mendekat. Kepalanya tertunduk, seperti seorang ilmuwan yang hanya mendapatkan juara ke-2. Begitu tak berdaya. Kubuka jendela. Ayah berdiri tepat di hadapanku. Ayah tersenyum, begitu hambar. Kubalas senyum hambar itu.
   
Ayah duduk di lantai, menyandarkan kepalanya di dinding kamar tidur. Dikeluarkannya rokok dari kantong kemejanya. Dalam sekejap asap puith memenuhi kamarku. Aku langsung beranjak keluar kamar.
     Kusodorkan secangkir kopi hitam yang kubawa dari dapur, tepat di hadapan ayah. Ayah tersenyum, kering. Asap putih itu masih melayang di hadapan ayahku.
       Aku duduk di hadapannya, mengamati wajah itu. Kucoba menjelajah isi pikirannya yang semakin hari semakin terbebani. Kucari di mata itu. Tapi yang kulihat hanya tatapan kosong. Ayah meminum kopi hitam-panas di hadapannya, lalu diletakannya cangkir itu. Ayah pun menghisap rokoknya lagi. Aku beranjak keluar kamar, membawa cangkir kosong.
     Kusodorkan lagi cangkir ketiga kopi hitam di hadapan ayah. Senyum hambar itu muncul lagi, seperti tadi dan hari-hari kemarin. Ayah masih saja diam, tidak bicara. Aku masih terus mencoba untuk meraba-raba isi kepala ayah yang sepertinya membebani ayah begitu berat. Tapi aku masih belum juga dapat menemukannya. Ayah meneguk habis kopi pahitnya. Aku senang ayah masih dapat menikmati kopi buatanku, meskipun dalam kondisi seperti in. Itulah kebiasaannya. Kalau pikiran dan hatinya agak terganggu, ayah selalu minta dibuatkan kopi hitam pekat tanpa gula, pahit dan ayah hanya mau kopi buatanku. Katanya dengan meminum kopi pahit buatanku, bebannya agak berkurang. Bahkan kini, meskipun tidak lagi tinggal di rumah ini, ayah masih suka datang untuk kopi pahit buatanku. Kuambil cangkir kosong itu. Aku bangkit berdiri untuk mengisi cangkir kosong itu lagi.
       “Sudah cukup, Anis. Duduklah,” Ayah menepuk-nepuk lantai di sampingnya. “Ayah sudah terlalu banyak minum kopi.”
       Kuikuti perintah ayah, dudukdi sampingnya. Ayah mematikan rokoknya, lalu menatapku lembut.
       “Kamu benci ayah, Anis?” aku menggeleng pelan
       “Ayah ingin kamu jujur.”
       “Apa Anis pernah berbohong kepada Ayah?” Kutatap mata Ayah yang begitu lelah.
       “Kamu tidak benci Ayah? Apa kamu benci terhadap keputusan ayah?”
       “Anis tidak benci Ayah. Anis hanya benci dengan kondisi yang membuat Ayah berbuat itu,” sahutku pelan.
       “Ayah mengakui kesalahan ayah sendiri, Anis.”
      “Kita semua memamng pernah membuat kesalahan, Ayah.”
      “Ayah menyesal, Anis.”
      “Tidak ada gunanya, Ayah.”
      “Ayah menyesal karena meninggalkan kalian, keluarga kecilku dan rumah yang sederhana ini,” Ayah memejamkan matanya, “Dan lebih memilih orang-orang yang tamak, tidak pernah puas dan haus akan uang. Keluarga yang selalu merongrong dan rakus akan harta.”
      Ayah seperti menggerutu sendiri, aku hanya terdiam. Ayah pun ikut terdiam. Kami saling terdiam, membiarkan membiarkan musik diradioku berdering dan bercak cokelat menguasai kamar cukup lama.
      “Ibumu sangat membenci ayah, Anis?” Ayah membuka pembicaraan lagi.
      “Entahlah, Yah,” sahutku pelan.
      “Kenapa ibu tidak mau lagi menerima uang dari ayah?”
      “Anis tidak tahu pasti, Ayah. Mungkin karena ibu sudah bekerja kecil-kecilan dan itu pun mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari kami.”
      “Ibumu masih seperti dulu. Perempuan yang sangat mandiri. Ayah berharap sifatmu seperti Ibu, tidak seperti Ayah, yang penakut dan bodoh. Mau saja diperas dan diinjak-injak oleh istri dan anak-anak tiri yang tak tahu diri.” Kulihat mata Ayah berkaca-kaca, “Ayah  menyesal, Anis. Sangat menyesal.”
      “Sudahlah, Ayah.”
      “Kamu tahu, Ayah masih sangat menyayangi ibumu dan kamu, Anis.” Aku mengangguk pelan.
      “Anis tahu, Ayah.”
      “Anis sayang sama Ayah?”
      Kupeluk ayah erat-erat. Ayah mendongkrakkan kepalanya, menahan air matanya agar tidak tertumpah ruah. Sementara aku tidak bisa menangis.
      “Lihat langit-langit kamarmu, Anis. Sudah seharusnya rumah harus di tata ulang agar terlihat nyaman bagi kalian berdua, juga mencat ulang dinding dan langit-langit rumahmu supaya terlihat indah.”
      Kulepas pelukanku, “Sudahlah, Ayah. Tidak usah dipikirkan rumah ini. Rumah ini masih layak ditinggali. Ayah pikirkan keluarga Ayah yang lain saja yang masih juga merasa kekurangan.”
      “Tidak, Anis. Ayah sudah tidak mau membiayai keluarga yang tamak itu. Ayah janji, akan segera merenovasi rumah ini supaya langit-langit kamarmu tidak kusam lagi.”
      Aku hanya terdiam. Ayah menyalakan rokoknya lagi, lalu berdiri kembali dari duduknya. Berjalan ke jendela, melompatinya, dan lalu pergi. Aku hanya mampu memandang sosok yang semakin menjauh itu dan akhirnya tertelan oleh rumah yang persis sebelah rumahku. Kututup jendela perlahan. Kudengar ketukan pintu. Ibu masuk dengan senyum tulusnya.
      “Belum tidur, Anis?” Ibu menghampiriku di tempat tidur.
      “Ayah baru saja pulang, Bu,” sahutku pelan.
      “Ibu tahu,”
      “Ayah terlihat sedih sekali, Bu. Sepertinya banyak sekali masalah yang membebaninya.”
      “Ya, ya, Ibu tahu, Anis.”
      “Ibu benci Ayah?”
      “Tidak. Ibu hanya menyesali keputusan ayahmu yang ceroboh.”
      “Sampai sekarang, Ibu masih belum bisa menerima keputusan ayah?”
      “Sangat sulit, Anis. Itu menyakitkan. Ibu tak mau mengingatnya lagi”
      “Jadi, Ibu benci Ayah?”
      “Tidak, Anis. Tidak.”
      “Kenapa ibu tidak mau menerima lagi uang dari Ayah?”
      “Kamu tidak tahu kenapa”
      “Ibu tidak pernah bilang pada Anis.”
      “Apa ibu harus memberi tahu semua alasan. Ibu pikir kamu sudah cukup dewasa untuk memikirkan sendiri yang terjadi di masa lalu antara ayah dan ibu.”
      “Anis pikir karena ibu sudah bekerja.”
      “Ayah patut dikasihani. Ibu hanya tidak ingin kita menambah beban hidupnya. Ayahmu sangat terpukul akan kehidupannya sekarang.”
      “Ibu masih mencintai ayah?”
      “Ya,” sahut ibu dengan mantap
      “Kenapa ibu tidak menolong ayah. Coba untuk menghibur ayah? Kenapa ibu tidak pernah menemui ayah kalau ayah datang kesini?”
      “Ibu merasa tidak dianggap, Anis,” Ibu membelai rambutku lembut, “Kalau saja ayahmu datang lewat pintu depan, bukannya melompati jendela, masuk ke kamarmu seperti maling, Ibu mungkin saja masih mau menemuinya kembali. Ayah hanya ingin bertemu denganmu, Anis, bukan ibu.”
      “Ayah pikir ibu masih membenci ayah, Bu.”
      “Tidurlah, Anis. Sudah larut.”
      “Bu, ayah masih mencintai ibu, mencintai kita.”
      “Ya, Ibu tahu, Anis.”
      Ibu memperbaiki letak selimut yang menutupi tubuhku. Diciumnya keningku dan beranjak pergi. Kini aku berhadapan lagi dengan sahabatku. Setiap memandangnya, langit-langit kamarku membaca isi pikiranku sedikit demi sedikit. Bercak-bercak cokelat muncul dan bertebaran di langit-langit kamarku.
       Kini, sedikit pun aku tidak merasa mengantuk lagi. Jiwa dan ragaku terasa penuh. Aku hanya mampu menatap kosong langit-langit kamarku dalam gelap. Dengan jiwa yang masih bergelut.
       Sudah dua hari ini kuhabiskan waktuku di jendela kamar. Mengamati rumah ayah disebelah. Tapi tak kutemukan juga seseorang yang kunanti. Ayah seperti menghilang di kabut yang tebal. Lari dari penyesalan dan pergi entah kemana. Tak pernah kulihat ayah pergi atau pulang dari kantor.
         Tak kulihat juga kebiasaan ayah yang suka duduk di beranda rumahnya setiap pagi sebelum berangkat kerja. Kulihat mobilnya terparkir di garasi. Mungkinkah ayah sakit? Aku sangat khawatir akan apa yang terjadi dirumah sebelahku. Kubulatkan tekad untuk mencari tahu. Kulompati jendela. Begitu masuki halaman rumah ayah, aku terhenti sejenak. Kutarik napas dalam-dalam, coba menenangkan diri. Kulihat Bik Yem, pembantu ayah, sedang menyapu halaman rumah ayah. Kuhampiri dia.
         “Eee, Non Anis. Ada apa, Non? Kok tumben?” sapa Bik Yem, heran melihat kedatanganku.
         “Ayah ada di rumah, Bik?”
         “Oo, ndak ada, Non. Sudah dua hari ini, Bapak ndak pulang.”
         “Ke mana, bik?”
         “Bibik ndak tahu, non. Tapi, Bapak ndak bawa mobil.”
         “Ibu ada dirumah, Bik?”
         “Ada, non. Tapi kayaknya  Ibu juga ndak tahu Bapak ke mana. Soalnya dari kemarin, Ibu mondar-mandir terus, nyari-nyari Bapak,” Bik Yem memelankan suaranya. “Tapi Non, tanya saja langsung sama ibu. Ibu ada di teras depan.”
          “Iya, makasih ya, Bik.”
         Aku beranjak pergi, berjalan ke teras depan rumah ayah. Kulihat sosok yang sangat aku benci ketika melihat wajahnya. Wanita yang telah merebut ayah dari ibuku. Nyaliku langsung menciut. Keberanianku langsung mengabur. Kuingat sumpahku, kalau tidak mau berbicara dengan wanita itu apalagi menatap wajahnya. Aku langsung berbalik ke arah rumahku.
         “Ibu.....,” desisku pelan, melihat Ibu terdiam berdiri di depan jendela kamraku. Kulihat wajah khawatir ibu. Kutarik napas dalam-dalam lagi, mengumpulkan semua kekuatan diri, membuang semua rasa takutku demi ayah! Aku berbalik, menghampiri sosok yang sedang asyik membaca di kursi rotan.
         “Selamat sore,” suaraku bergetar. Wanita itu melihat ke arahku. Oh, rasanya seluruh perutku ingin keluar begitu melihat wajah angkuh itu.
         “Ada apa, ya?” sahutnya dingin. “Oh.....pasti cari ayahmu, ya?” Aku mengangguk pelan.
         “Saya tidak pernah menyembunyikan ayahmu. Dia pergi.”
         “Ke mana?”
         “Mana saya tahu?! Justru saya pikir dia bersembunyi di rumahmu.”
         “Ayah tidak pernah bersembunyi,” jawabku ketus.
         “Jelas-jelas dia sembunyi, melarikan diri. Karena dia tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan kami,” ujarnya dengan nada tinggi.
         Darahku mendidih rasanya, mendengar omongan wanita sialan itu. Ingin rasanya kuhajar habis-habisan mulut itu. Tapi, bagaimanapun dia adalah istri ayahku dan aku masih punya harga diri untuk tidak melakukan hal bodoh itu. Aku beranjak pergi, meninggalkan begitu saja dia dan tidak mau melihat orang yang tamak itu lagi dihidupku.
         “Nggak usah kamu cari ayahmu. Nanti juga dia pulang sendiri kalau sudah kehabisan uang,” kata wanita itu dengan berteriak-teriak.
         Masa bodoh dengan ucapan wanita sialan itu. Aku pun langsung menjauh dari rumah. Berbagai macam perasaan berkecamuk di jiwaku. Berbagai macam pertanyaan menyerang pikiranku. Ayah, di mana kau berada? Kuperlambat langkahku. Perlahan-lahan. Kunikmati langkahku. Kututup mataku sambil berjalan dan melihat di bayangan pikiranku. Berharap jika tiba di rumahku, kutemukan ayah di sana, menungguku dan aku akan membuatkannya segelas kopi, tapi bukan kopi hitam legam yang pahit. Kali ini kubuatkan kopi hitam yang manis. Cukup sudah penderitaanmu, ayah. Aku harap kau kembali ke keluarga kecilmu dan berkumpul bersama lagi.

0 komentar:

Post a Comment

Silahkan komentar dan beri masukan yang positif. Terima kasih.

Twitter Facebook Favorites More